JAKARTA- Institute for Development Economy and Finance
(Indef) menggelar seminar akhir tahun evaluasi satu dekade perekonomian
domestik, dan proyeksi ekonomi 2015. Ekonom senior Indef, Ahmad Erani
Yustika menyampaikan ada 10 hal yang masih menjadi pekerjaan rumah
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diwariskan oleh pemerintahaan
Susilo Bambang Yudhoyono.
Pertama adalah soal ketimpangan yang makin lebar. Gini ratio selama sepuluh tahun terakhir turun menjadi 0,5. Indeks gini ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan suatu negara. Dengan indeks gini di atas 0,4, ketimpangan di Indonesia tergolong tinggi.
Kedua, adanya deinsustrialisasi, di mana konstribusi sektor industri terhadap PDB menurun.
Ketiga, lanjut Erani, selama sepuluh tahun terakhir, neraca perdagangan melorot. Pada 2004, neraca perdagangan surplus 25,06 miliar dollar AS, menjadi defisit 4,06 miliar dollar AS pada 2014.
"PR keempat, pertumbuhan ekonomi kita memang tinggi. Tetapi tidak menciptakan lapangan kerja. Elastisitas 1 persen growth dalam membuka lapangan kerja turun dari 436.000 menjadi 164.000," kata Erani, Kamis (27/11/2014).
Efisiensi ekonomi semakin memburuk, ditandai dengan semakin tingginya indeks ICOR, dari 4,17, menjadi 4,5. "Faktor pendorong inefisiensi adalah inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur," ucap dia.
Pekerjaan rumah pemerintah Jokowi adalah menaikkan tax ratio, menjadi 16 persen pada 2019. Sepanjang pemerintahan SBY, tax ratio turun 1,4 persen.
Erani juga mengatakan, PR ketujuh Jokowi yakni meningkatkan kesejahteraan petani. Nilai tukar petani selama sepuluh tahun terakhir turun 0,92. Kedelapan adalah soal utang pemerintah yang kian mencemaskan.
"PR kesembilan itu keseimbangan primer kita, pada 2004 surplus 1,83 persen, tapi pada 2013 defisit 1,19 persen. Dan terakhir, postur APBN yang semakin tidak proporsional, boros dan semakin didominasi pengeluaran rutin dan birokrasi," ujar dia.
Skor 10-6
Meski banyak PR yang ditinggalkan, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati menilai ada 6 indikator kinerja ekonomi yang mengalami perbaikan selama pemerintahan SBY.
"Jadi skornya 10-6. PR yang ditinggalkan ada 10, tapi ada perbaikan di 6 indikator ekonomi," terang Enny.
Pertama, selama sepuluh tahun terakhir angka pertumbuhan ekonomi RI masih tinggi di antara 5-6 persen. Kedua, investasi juga meningkat dari 23 persen pada 2004 menjadi 31 persen pada 2013. Indikator yang menunjukkan perbaikan ketiga yakni kinerja perbankan.
Perkembangan aset rata-rata tumbuh 16,44 persen, DPK 15,88 persen, dan penyaluran kredit 21,62 persen. "Keempat, prosentase angka kemiskinan menurun, dari 16,66 persen pada 2004, menjadi 11,25 persen pada 2014," lanjut Enny.
Keberhasilan kelima yaitu, menurunnya tingkat pengangguran terbuka dan meningkatkan pekerja formal naik dari 29,38 persen menjadi 39,90 pada 2013. Terakhir, meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dari 68,7 pada menjadi 73,45 pada 2013.
Pertama adalah soal ketimpangan yang makin lebar. Gini ratio selama sepuluh tahun terakhir turun menjadi 0,5. Indeks gini ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan suatu negara. Dengan indeks gini di atas 0,4, ketimpangan di Indonesia tergolong tinggi.
Kedua, adanya deinsustrialisasi, di mana konstribusi sektor industri terhadap PDB menurun.
Ketiga, lanjut Erani, selama sepuluh tahun terakhir, neraca perdagangan melorot. Pada 2004, neraca perdagangan surplus 25,06 miliar dollar AS, menjadi defisit 4,06 miliar dollar AS pada 2014.
"PR keempat, pertumbuhan ekonomi kita memang tinggi. Tetapi tidak menciptakan lapangan kerja. Elastisitas 1 persen growth dalam membuka lapangan kerja turun dari 436.000 menjadi 164.000," kata Erani, Kamis (27/11/2014).
Efisiensi ekonomi semakin memburuk, ditandai dengan semakin tingginya indeks ICOR, dari 4,17, menjadi 4,5. "Faktor pendorong inefisiensi adalah inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur," ucap dia.
Pekerjaan rumah pemerintah Jokowi adalah menaikkan tax ratio, menjadi 16 persen pada 2019. Sepanjang pemerintahan SBY, tax ratio turun 1,4 persen.
Erani juga mengatakan, PR ketujuh Jokowi yakni meningkatkan kesejahteraan petani. Nilai tukar petani selama sepuluh tahun terakhir turun 0,92. Kedelapan adalah soal utang pemerintah yang kian mencemaskan.
"PR kesembilan itu keseimbangan primer kita, pada 2004 surplus 1,83 persen, tapi pada 2013 defisit 1,19 persen. Dan terakhir, postur APBN yang semakin tidak proporsional, boros dan semakin didominasi pengeluaran rutin dan birokrasi," ujar dia.
Skor 10-6
Meski banyak PR yang ditinggalkan, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati menilai ada 6 indikator kinerja ekonomi yang mengalami perbaikan selama pemerintahan SBY.
"Jadi skornya 10-6. PR yang ditinggalkan ada 10, tapi ada perbaikan di 6 indikator ekonomi," terang Enny.
Pertama, selama sepuluh tahun terakhir angka pertumbuhan ekonomi RI masih tinggi di antara 5-6 persen. Kedua, investasi juga meningkat dari 23 persen pada 2004 menjadi 31 persen pada 2013. Indikator yang menunjukkan perbaikan ketiga yakni kinerja perbankan.
Perkembangan aset rata-rata tumbuh 16,44 persen, DPK 15,88 persen, dan penyaluran kredit 21,62 persen. "Keempat, prosentase angka kemiskinan menurun, dari 16,66 persen pada 2004, menjadi 11,25 persen pada 2014," lanjut Enny.
Keberhasilan kelima yaitu, menurunnya tingkat pengangguran terbuka dan meningkatkan pekerja formal naik dari 29,38 persen menjadi 39,90 pada 2013. Terakhir, meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dari 68,7 pada menjadi 73,45 pada 2013.
sumber: kompas
0 komentar:
Posting Komentar