NAGA RAYA- Hari ini, Sabtu, 15 November 2014,
Kabupaten Nagan Raya mencatat sejarah baru. Istri Bupati H.T.Zulkarnaini,
Hajjah Kelimah, diambil sumpah sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Nagan Raya. Ini adalah pertama kalinya sejak dimekarkan dari Aceh Barat pada
2002, kabupaten di pantai barat Aceh itu dipimpin pasangan suami istri di level
eksekutif dan legislatif.
Kelimah mendapat jabatan itu setelah
maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari
partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak
Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi
Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari
25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi
terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri
sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua
DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang
itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu
terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal
berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan
Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan
kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di
Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung
Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin,
Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah
(Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain
juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan
dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan
penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek
perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran
tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani,
Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari
Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya
kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan
wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari
aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon
Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman
lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA),
Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun
pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda
ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan
dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan,
Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis,
Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi
juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik
iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai
Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun,
kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan
daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris
Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul
Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang
peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki
peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat
diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan
legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft
undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi
penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik
dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft
ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober
2014.
Namun, undang-undang ini hanya
membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada
pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan
calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan
poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau
telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan
legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada
aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan
legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita
pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak
pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta
pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang
larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat
untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib
rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
sumber: ajtehpost.co
HARI
ini, Sabtu, 15 November 2014, Kabupaten Nagan Raya mencatat sejarah
baru. Istri Bupati H.T.Zulkarnaini, Hajjah Kelimah, diambil sumpah
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya. Ini adalah
pertama kalinya sejak dimekarkan dari Aceh Barat pada 2002, kabupaten di
pantai barat Aceh itu dipimpin pasangan suami istri di level eksekutif
dan legislatif.
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
HARI
ini, Sabtu, 15 November 2014, Kabupaten Nagan Raya mencatat sejarah
baru. Istri Bupati H.T.Zulkarnaini, Hajjah Kelimah, diambil sumpah
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya. Ini adalah
pertama kalinya sejak dimekarkan dari Aceh Barat pada 2002, kabupaten di
pantai barat Aceh itu dipimpin pasangan suami istri di level eksekutif
dan legislatif.
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
HARI
ini, Sabtu, 15 November 2014, Kabupaten Nagan Raya mencatat sejarah
baru. Istri Bupati H.T.Zulkarnaini, Hajjah Kelimah, diambil sumpah
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya. Ini adalah
pertama kalinya sejak dimekarkan dari Aceh Barat pada 2002, kabupaten di
pantai barat Aceh itu dipimpin pasangan suami istri di level eksekutif
dan legislatif.
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
HARI
ini, Sabtu, 15 November 2014, Kabupaten Nagan Raya mencatat sejarah
baru. Istri Bupati H.T.Zulkarnaini, Hajjah Kelimah, diambil sumpah
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Nagan Raya. Ini adalah
pertama kalinya sejak dimekarkan dari Aceh Barat pada 2002, kabupaten di
pantai barat Aceh itu dipimpin pasangan suami istri di level eksekutif
dan legislatif.
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
Kelimah mendapat jabatan itu setelah maju sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 9 April lalu. Ia naik dari partai Golkar yang dipimpin suaminya. Hasilnya, perempuan yang akrab disapa Mak Gayo itu meraih suara mutlak melebihi kuota kursi yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya.
Di Nagan Raya, Golkar merebut 7 dari 25 kursi anggota dewan. Perolehan itu menjadikan Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di sana. Lantaran meraup suara terbanyak, maka jadilah Kelimah, istri sang bupati, duduk sebagai ketua dewan.
Terpilihnya Kelimah sebagai Ketua DPRK Nagan Raya melengkapi "kerajaan" bupati yang akrab disapa Ampon Bang itu. Seperti diketahui, Ampon Bang telah berkuasa di Nagan sejak kabupaten itu terbentuk pada 2002. Di kalangan masyarakat Nagan, Ampon Bang memang dikenal berasal dari kalangan keluarga raja pada masa lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Aceh Nagan Raya, Teuku Raja Mulia, membeberkan Ampon Bang mengangkat adik kandung dan kerabat dekat sebagai kepala Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) setempat.
"Hampir semua kepala dinas di Nagan, adik dan kerabat dekat bupati," kata Raja Mulia.
Ia mencontohkan, saudara kandung Bupati Nagan Raya seperti Kepala Dinas Kelautan (DKP) Teuku Jamalul Alamuddin, Kepala Dinas Pendidikan (PK) Cut Intan Mala dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Teuku Raja Keumangan.
"Asisten Bupati dan Kadis lain juga masih kerabat dekatnya," ujarnya.
Kondisi itu mencuatkan keprihatinan dari aktivis pegiat antikorupsi. Politik dinasti Ampon ditengarai rawan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Itu adalah praktek perselingkuhan jabatan dan sangat rawan korupsi. Bisa-bisa pembahasan anggaran tidak dikoreksi di DPRK yang dipimpin istrinya," kata Askhalani, Koordinator Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh.
Kekhawatiran serupa juga datang dari Alfian, Koordinator Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh. Kata dia, Nagan Raya kini tak ubahnya sebuah dinasti sehingga rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Ini kurang etika dan rentan penyelewengan,” katanya.
Reaksi lebih keras datang dari aktivis Jaringan Advokasi Nagan Raya, Wahidin. Ia menuding yang dilakukan Ampon Bang adalah tindakan kampungan.
“Itu bupati kampungan. Nggak jaman lagi nepotisme,” katanya.
Ketua Persatuan Rakyat Aceh (PRA), Muchlis Ade Putra, juga meradang. Ia pun sepakat Ampon Bang telah membangun pemerintahan dinasti di daerahnya.
“Kadis DKP, Pendidikan, Bappeda ditempati adik kandung bupati. Kadis Bina Marga mantan adik ipar, Setda Nagan dan asisten kerabat seketurunannya. Termasuk Kadis Kesehatan, Pengairan, Disbudpar,” ujarnya.
Di DPRK Nagan Raya, kata Muchlis, Ampon Bang tak hanya diback up oleh istrinya yang menjabat ketua DPRK, tetapi juga sejumlah keluarganya yang lain. “Di DPRK, ada juga adik kandung dan adik iparnya,” katanya.
Tidak Diatur Undang-undang
Anggota DPRK Nagan Raya dari Partai Nasdem, Bustamam, setuju tindakan Ampon Bang adalah bentuk nepotisme. Namun, kata dia, tidak ada undang-undang yang melarangnya.
"Tidak ada larangan pimpinan daerah menempatkan kerabat sebagai kepala SKPK, kecuali untuk posisi Sekretaris Daerah," katanya.
Pendapat serupa datang dari Samsul Bahri Syam, anggota DPRK dari Partai Aceh. Kata dia, itu adalah kesempatan yang peluang bagi Ampon Bang. "Kalau tidak sekarang kapan lagi. Mereka memiliki peluang, mampu dan cukup pangkat,” ujarnya.
Ihwal politik dinasti ini sempat diributkan setelah kasus Ratu Atut Chosiyah yang mengusai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan sebagian kabupaten di Banten.
Maka ketika rumusan draft undang-undang Pilkada digodok di DPR RI, dimasukkanlah pasal yang membatasi penguasaan daerah oleh satu keluarga. Istilah lain: mencegah politik dinasti.
Sempat terjadi tarik menarik, draft ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masa berlakunya sejak 2 Oktober 2014.
Namun, undang-undang ini hanya membatasi soal hubungan darah pada pencalonan kepala daerah. Ini diatur pada pasal 13 tentang siapa saja yang dapat maju sebagai calon gubernur, bupati, dan calon walikota. Disebutkan, yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah,"tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Di bagian penjelasan, disebutkan poin itu berarti,"tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Sementara pada posisi eksekutif dan legislatif, belum ada larangannya. Itu sebabnya, Askhalani menilai perlu ada aturan tegas yang melarang hubungan darah di posisi eksekutif dan legislatif.
“Kalau ini dibiarkan maka cita-cita pemerintah pusat untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan sehat tidak pernah tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, Askhalani meminta pemerintah pusat merumuskan sebuah perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penempatan keluarga kandung presiden dan kepala daerah sebagai pejabat untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, jika tidak, bisa-bisa nasib rakyat ditentukan di atas ranjang sambil bercengkrama menjelang tidur.
- See more at: http://atjehpost.co/articles/read/15028/Ketika-Nagan-Raya-Dipimpin-Suami-Istri#sthash.UUGRkQzL.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar