BAB I
PENDAHULUAN
Waralaba merupakan suatu bentuk usaha yang pada dasarnya
adalah agar suatu bentuk usaha milik sendiri yang telah dijalankan dapat lebih
maju dan berkembang, waralaba sendiri berkembang tergantung pada pelaku
usahanya baik dari pemberi waralaba atau pun pihak dari penerima waralaba,
karena dalam bentuk usaha ini yang paling menentukannya adalah bagaimana usaha
ini dapat berjalan secara berkesinambungan.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2006. Waralaba (Franchise) merupakan perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya,
sebenarnya perjanian franchise berada diantara perjanjian lisensi dan
distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual kepada
pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsure
perjanjian lisensi.
Perbedaan
antara franchisee dengan lisensi,Menurut Utomo Njoto, pakar Franchising, ada 6
(enam) hal untuk bisa membedakan keduanya
:
1. Dari
aspek merek; waralaba itu menggunakan merek milik franchisor dan lisensi
menggunakan merek milik lisensor.
2. fokusnya.
Waralaba fokusnya pada sistem bisnis. Lisensi lebih fokus pada hak kekayaan intelektual (HKI).
3. Marketing
communication. Nah di
waralaba ada unsur yang terpusat. Full advertising fund dan national
level sepending yang berasal dari franchisor. Tapi kalau Lisensi tidak
harus terpusat. Malah sebetulnya mereka tidak berhak mengambil full
advertising.
4. Terkait
dokumen HKI. Di Indonesia waralaba itu boleh dalam bentuk surat permohonan
pendaftaran merek. Sedangkan untuk lisensi merek itu harus sertifikat merek.
5. Terkait
regulasi. Di waralaba ada PP dan Permendag yang mana mengatur harus ada
pendaftaran STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) penerima dan
pemberi waralaba. Di lisensi itu ada UU No. 15 mengenai merek dan lisensinya
ada di pasal 43 sampai 49 yang isinya dalam hal lisensi harus ada pencatatan
perjanjian lisensi.
6. Masalah
sanksi. Di waralaba ada peringatan tertulis tiga kali dan denda paling banyak
Rp 100 juta. Sedangkan di lisensi merek tidak terlalu ketat saat ini karena
Departemen Hukum dan HAM sedang merumuskan PPnya. [1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN WARALABA (FRANCHISEE) DAN LISENSI
1. Pengertian Waralaba
Waralaba
merupakan Suatu bentuk organisasi usaha di mana perusahaan yang sudah memiliki
produk sukses atau jasa (pemilik waralaba) memasuki hubungan kontrak terus
dengan bisnis lain (franchisee) yang beroperasi di bawah nama dagang franchisor
dan biasanya dengan bimbingan franchisor, dengan imbalan biaya.
Waralaba
adalah hak yang diberikan kepada seorang individu atau kelompok untuk
memasarkan barang suatu perusahaan atau jasa dalam suatu wilayah tertentu atau
lokasi. Beberapa contoh waralaba populer saat ini adalah McDonald’s, Subway,
Domino’s Pizza, dan UPS Store.
Menurut
Peraturan Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2006. Waralaba (Franchise) merupakan
perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dimana Penerima
Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau
menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang
ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan
konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada
Penerima Waralaba.
Sedangkan
menurut Asosiasi Franchise Indonesia, Pengertian Waralaba ialah Suatu sistem
pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek
(franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan
bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
Selain
itu Waralaba juga dapat didefinisikan sebagai suatu pola kemitraan usaha antara
perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan
dan pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan atau
individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba,
disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan
pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar
sejumlah biaya (fees) kepada pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua
pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau waralaba.[2]
2. Pengertian Lisensi
Definisi
Lisensi menurut Undang-Undang No 30 tahun 2000 tentang rahasia dagang yaitu “
izin yang diberikan oleh pemegang hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui
suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk
menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan
dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 5 Undang undang
no 30 tahun 2000).
Definisi
Lisensi menurut undang-undang no 31 tahun 2000 tentang disain industry, yakni ‘
izin yang diberikan oleh pemegang Hak desain Industri kepada pihak lain melalui
suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk
menikmati manfaat ekonomi dari suatu desain industry yang diberi perlindungan
dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
no 21 tahun 2000).
Undang-Undang
no 14 tahun 2001,mendefinisikan lisensi sebagai izin yang diberikan oleh
pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk
menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam
jangka waktu dan syarat tertentu (pasal 1 angka 13 Undang-Undang No 14 tahun
2001).[3]
Perjanjian
lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak.
Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:
a. tanggal,
bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;
b. nama dan
alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian
lisensi;
c. obyek
perjanjian lisensi;
d. jangka
waktu perjanjian lisensi;
e. dapat
atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang;
f. pelaksanaan
lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak ekslusif;
g. jumlah
royalti dan pembayarannya;
h. dapat
atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak
ketiga;
i.
batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi,
apabila diperjanjikan; dan
j.
dapat atau tidaknya pemberi lisensi
melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan.[4]
B. HAK DAN KEWAJIBAN WARALABA (FRANCHISEE) DAN
LISENSI
1.Hak Dan Kewajiban Waralaba (Franchisee)
Hak dan kewajiban
merupakan aspek hukum yang timbul dari adanya hubungan hukum dalam suatu
transaksi. Sesuai dengan Pasal 6 UUPK
hak konsumen, dan Pasal 7 UUPK kewajiban konsumen yaitu :
Hak Konsumen
1.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maksudnya
bahwa kedua belah pihak dalam menjual dan membeli barang dan/atau jasa tidak
merasa dirugikan karena nilai tukar untuk mendapatkan barang tersebut sesuai
dengan kondisi yang diterimanya.
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik, maksudnya bahwa pelaku usaha
dapat menuntut konsumen secara hukum jika konsumen tersebut bermaksud merugikan
atau meniru terhadap barang dan/atau jasa yang telah beredar dalam lingkungan
masyarakat.
3.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen, maksudnya bahwa jika terjadi selisih paham antara konsumen
dan pelaku usaha maka dapat diselesaikan dengan ketentuan yang telah diatur
dalam perjanjian yang telah disepakati.
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan, maksudnya bahwa jika terjadi kesalahan atau ketidak cocokan
konsumen dalam menggunakan barang dan/atau jasa karena tidak diikuti dengan
petunjuk yang telah diberikan dengan kata lain bahwa barang dan/atau jasa tidak
bermasalah maka pelaku usaha berhak mendapatkan pemulihan nama baik terhadap
barang atau jasa.
5.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya,
maksudnya bahwa pelaku usaha dalam mengeluarkan produk harus sesuai dengan
ketentuan ketentuan yang ditetapkan oleh instansi terkait atau yang berwenang
dalam menetapkan aturan terhadap barang dan/atau jasa yang akan diterima dalam
lingkungan masyarakat.
Kewajiban Konsumen
1.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, maksudnya bahwa pelaku
usaha dalam mengeluarkan produk barang dan/atau jasa tidak bertujuan mengeruk
keuntungan tinggi tanpa mempertimbangkan nilai jual yang sesungguhnya.
2.
Memberi informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan, maksudnya bahwa pelaku usaha dalam memberikan penjelasan terhadap
produk barang dan/atau jasa sebaiknya mudah dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat awam sekalipun.
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif, maksudnya bahwa pelaku usaha tidak ada perbedaan dalam
memberikan informasi atau layanan kepada konsumen atau tanpa ada perlakuan
khusus terhadap pelanggan baru ataupun pelanggan lama dalam menyampaikan
informasi terhadap barang yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.
4.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standard mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,
maksudnya bahwa pelaku usaha dalam membuat produk barang dan/atau jasa harus
sesuai dengan standard mutu yang ditetapkan oleh lembaga konsumen yang
disesuaikan terhadap produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan.
5.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan, maksudnya bahwa pelaku usaha memberi
kesempatan kepada konsumen untuk mencoba setiap produk yang akan dijadikan hak
milik tanpa harus membeli secara langsung sebelum melihat kualitas dari produk
barang/jasa.
6.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan, maksudnya bahwa pelaku usaha berhak memberikan ganti rugi
kepada konsumen jika barang dan/atau jasa yang digunakan akibat kesalahan atau
kegagalan produk tersebut.
7.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian, maksudnya
bahwa pelaku usaha berhak untuk memberikan nilai lebih terutama dalam
memberikan ganti rugi kepada konsumen jika barang yang dibelinya tidak sesuai
dengan kesepakatan yang dibuat.
Peningkatan kesadaran
konsumen akan hak-haknya menjadi penting di era perdagangan bebas saat ini
apalagi terkait dengan perubahan pola komunikasi yang memungkinkan para pihak
untuk melakukan transaksi tanpa saling tatap muka. Namun, perlu dicermati juga
bahwa hukum perlindungan konsumen harus menciptakan keadilan bagi konsumen
maupun produsen/pelaku usaha, dan tidak hanya membebani produsen/pelaku usaha
dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha
dengan jujur.[5]
2. Hak dan Kewajiban Lisensi
Kewajiban
pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang
yang di produksi dan di perdagangkan Batas wilayah berlakunya perjanjian
lisensi, apabila di perjanjikan Penting untuk diperhatikan agar perjanjian
lisensi dapat berjalan dengan baik adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban
licensor dan licensee secara rinci.
Hak dan kewajiban pemberi lisensi adalah :
a. Menerima
pembayar royalty sesuai dengan perjanjian
b. Menuntut
pembatalan lisensi merek
c. Menjamin
penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga
d. Melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau jasa hasil produksi penerima
lisensi
e. Meminta
persetujuan kepada penerima lisensi
f. Pembatalan
perjanjian lisensi merek
Sedangkan hak dan kewajiban penerima lisensi
adalah :
a. Menggunakan
merek yang dilisensikan sesuai jangka waktu
b. Menuntut
pembayaran kembali royalty yang telah dibayarkan penerima lisensi kepada
pemilik merek
c. Memberi
lisensi lebih lanjut kepda pihak ketiga
d. Menuntut
pembatalan lisensi merek
e. Membayar
royalty sesuai perjanjian
f. Meminta
pencatatan perjanjian lisensi kepada Kantor Merek
g. Menjaga
mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan standar mutu barang atau
jasa atas merek yang dilisensikan.
h. Pembatalan
Pendaftaran Merek
Pembatalan
pendaftaran hak merek hanya dapat di ajukan oleh pihak yang berkepentingan atau
oleh pihak merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral Hak
Kekayaan Intelektual atau gugatan kepada pengadilan Niaga, dengan dasar alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 UU Merek yang
mengatur mengenai merek yang tidak dapat di daftarakan dan merek yang tidak
dapat di daftarkan dan merek yang ditolak pendaftarannya.
C. PERBEDAAN DAN PERSMAAN WARALABA (FRANCHISEE)
DAN LISENSI
Secara umum,
Bisnis Waralaba, (franchisee) dan Lisensi memiliki kesamaan
arti sebagai sebuah konsep kemitraan dalam bisnis. Artinya, ada dua pihak,
yaitu pemberi hak dan penerimanya yang sama-sama meraih benefit dari kerja sama
kemitraan saling percaya tersebut. Kedua model konsep bisnis ini juga memiliki
kesamaan dari sisi tingkat resiko bagi peminat investasi, yaitu meminimalisir
faktor kegagalan yang sebelumnya sudah diambil alih oleh pemberi hak melalui
pembuktian bisnis atau merek dalam rentang waktu tertentu di tahap awal.
Pada
Kedua model bisnis tersebut juga memiliki kesamaan dari sisi support,
dimana pemberi hak memiliki keharusan untuk men-support penerima hak
agar bisa menjalankan bisnis hingga sukses.
Namun
demikian, ada perbedaan antara Waralaba (franchisee) dan Lisensi yang sangat prinsipil dari masing-masing
konsep. Tapi, sekarang ini agak sulit untuk kita tahu mana yang waralaba
dan mana yang lisensi. Menurut Utomo
Njoto, pakar Franchising, ada 6 (enam) hal untuk bisa membedakan keduanya :
7. Dari
aspek merek; waralaba itu menggunakan merek milik franchisor dan lisensi
menggunakan merek milik lisensor.
8. fokusnya.
Waralaba fokusnya pada sistem bisnis. Lisensi lebih fokus pada hak kekayaan intelektual (HKI). Di waralaba harus ada sistem support,
ada pra operasional, pra launching, ada supervise launching dan
ada pasca launching.
9. Marketing
communication. Nah di
waralaba ada unsur yang terpusat. Full advertising fund dan national
level sepending yang berasal dari franchisor. Tapi kalau Lisensi tidak
harus terpusat. Malah sebetulnya mereka tidak berhak mengambil full
advertising.
10. Terkait
dokumen HKI. Di Indonesia waralaba itu boleh dalam bentuk surat permohonan
pendaftaran merek. Seharusnya dan sebetulnya sudah menjadi sertifikat, tapi
karena di Indonesia prosesnya panjang maka boleh dalam bentuk surat permohonan
pendaftaran merek. Sedangkan untuk lisensi merek itu harus sertifikat merek.
11. Terkait
regulasi. Di waralaba ada PP dan Permendag yang mana mengatur harus ada
pendaftaran STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) penerima dan
pemberi waralaba. Di lisensi itu ada UU No. 15 mengenai merek dan lisensinya
ada di pasal 43 sampai 49 yang isinya dalam hal lisensi harus ada pencatatan
perjanjian lisensi.
12. Masalah
sanksi. Di waralaba ada peringatan tertulis tiga kali dan denda paling banyak
Rp 100 juta. Sedangkan di lisensi merek tidak terlalu ketat saat ini karena
Departemen Hukum dan HAM sedang merumuskan PPnya. [6]
D.KETENTUAN UMUM TENTANG ATURAN PERJANJIAN FRANCHISE DAN PERJANJIAN LISENSI
1.
Aturan Hukum Tentang Waralaba (Franchisee)
a. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pengaturan tentang franchise di Indonesia ini terdapat pada
Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan : ”Bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan maupun berdasarkan undang-undang. Perjanjian merupakan
kesepakatn kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengikatkan diri mereka
masing-masing untuk melaksanakan isi perjanjian ada persetujuan yang dibuat
kedua belah pihak”.
Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memberikan rumusan dari perjanjian sebagai suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Definisi dari perjanjian
yang terdapat di atas adalah tidak lengkap, dan juga terlalu luas. Tidak
lengkap karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak. Dikatakan
terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai perbuatan dalam
lapangan hukum keluarga.
Perjanjian lahir dari
adanya perikatan, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak. Hubungan dua orang atau dua pihak adalah suatu hubungan hukum
yang menimbulkan hak dan kewajiban yang berarti bahwa kedua belah pihak dijamin
oleh hukum atau undang-undang.
Perjanjian menurut R.
Setiawan adalah : ”Suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”.
Buku III KUHPerdata
memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk
menentukan isi perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat oleh
para pihak, biasanya diawali dengan unsur kepercayaan (fiducia). Akan tetapi unsur kepercayaan ini bukan kunci utama dalam
membuat suatu perikatan, tetapi para pihak harus memperhatikan syarat-syarat
syahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur
dalam Pasal 1320 kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat 4 (empat) syarat
yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut
adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua
diatas dinamakan syarat subjektif, apabila salah satu dari kedua syarat
tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif yakni
jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal
karena hukum.
Jika syarat-syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan
suatu undang-undang.
b.Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997
tentang Waralaba
Berdasarkan Pasal 2 ayat
(2) perjanjian waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku
hukum Indonesia. Dalam Pasal 3 ayat (1) sebelum membuat perjanjian, pemberi
waralab wajib memberi menyampaikan keterangan kepada penerima waralaba secara
tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai :
a.
Pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya;
b.
Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
menjadi objek waralaba;
c.
Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba;
d.
Bantuann atau fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima
waralaba;
e.
Hak dan kewajiban pemebri dan penerima waralaba;
f.
Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian waralaba serta hal-hal
lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian
waralaba.
Perjanjian waralaba
beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1)
didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh penerima waralaba
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berlakunya waralaba.
Berdasarkan Pasal 9 ayat
(1) perjanjian waralaba yang telah berlaku sebelum ditetapkannya peraturan
pemerintah ini, didaftarkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7.
Berdasarkan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia ketentuan dan tata
cara pendaftaran usaha waralaba dalam Pasal 1 ayat (6) perjanjian waralaba
adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba
dan dalam Pasal 1 ayat (7) perjanjian waralaba lanjutan adalah perjanjian
secara tertulis antara penerima waralaba utama dengan penerima waralaba
lanjutan.
Berdasarkan Pasal 3 ayat
(1) perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dapat
disertai atau tidak disertai dengan pemberian hak untuk membuat perjanjian
waralaba lanjutan. [7]
2. Aturan Hukum Tentang Pengikatan Lisensi
Pasal 45-47 Undang-undang Hak Cipta mengatur
secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada
pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui
perjanjian lisensi. Llisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk
melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan
Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak
ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini
dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan
penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik
Intelektual pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM.
Pengikatan suatu perjanjian lisensi hak cipta
dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lisan, melalui akta di bawah tangan
yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dan dapat juga dibuat oleh
notaris dalam bentuk akta otentik. Ketentuan royalti dalam perjanjian lisensi
merupakan kewajiban dari penerima lisensi dan menjadi hak dari pemberi lisensi
yang besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Apabila ditinjau
ketentuan hukum perjanjian salah satu cara adalah mengikuti ketentuan hukum
perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata,
khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian
(Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). [8]
BAB III
PENUTUP
Dilihat
dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya perjanian franchise berada
diantara perjanjian lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh
pemegang hak milik intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan merk ataupun
prosedur tertentu merupakan unsure perjanjian lisensi. Sedangkan dilain pihak
juga adanya Quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang
lisensi yang haru sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang
franchise merupakan distributor franchisor.
Sebagaimana
dalam perjanjian lisesnsi, pada perjanjian franchise, pemegang franchise wajib
membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan
produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Royalty kadang-kadang
bukan ditetapkan berdasarkan persentase keuntungan tapi beberapa unit. Dalam
hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise untung
atau tidak. Disamping harus membayar royalty, pihak pemegang franchise juga
sering harus memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh franchisor untuk mendesain
perusahaan sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitupula dengan menajemennya, tidak
jarang franchisor juga memberikan assistensi dalam manajemen.
Syarat sahnya suatu
perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 kitab Undang-undang Hukum
Perdata terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat
tersebut adalah :
5. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
6. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
7. Suatu hal tertentu
8. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua
diatas dinamakan syarat subjektif, apabila salah satu dari kedua syarat
tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif yakni
jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal
karena hukum.
[3]
http://id.shvoong.com/business-management/2135315-definisi-lisensi-menurut-undang-undang/
[5] Martin Mendelsohn, Franchising Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee,
Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo, 1993, hlm. 70.
[8]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26359/5/Abstract.pdf
0 komentar:
Posting Komentar