728x90 AdSpace

Latest News
Minggu, 28 September 2014

Waralaba (Franchisee) dan Lisensi



BAB I
PENDAHULUAN
Waralaba merupakan suatu bentuk usaha yang pada dasarnya adalah agar suatu bentuk usaha milik sendiri yang telah dijalankan dapat lebih maju dan berkembang, waralaba sendiri berkembang tergantung pada pelaku usahanya baik dari pemberi waralaba atau pun pihak dari penerima waralaba, karena dalam bentuk usaha ini yang paling menentukannya adalah bagaimana usaha ini dapat berjalan secara berkesinambungan.

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2006. Waralaba (Franchise) merupakan perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya perjanian franchise berada diantara perjanjian lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsure perjanjian lisensi.

Perbedaan antara franchisee dengan lisensi,Menurut Utomo Njoto, pakar Franchising, ada 6 (enam) hal untuk bisa membedakan keduanya  :
1.      Dari aspek merek; waralaba itu menggunakan merek milik franchisor dan lisensi menggunakan merek milik lisensor.
2.      fokusnya. Waralaba fokusnya pada sistem bisnis. Lisensi lebih fokus pada hak kekayaan intelektual (HKI).
3.      Marketing communication. Nah di waralaba ada unsur yang terpusat. Full advertising fund dan national level sepending yang berasal dari franchisor. Tapi kalau Lisensi tidak harus terpusat. Malah sebetulnya mereka tidak berhak mengambil full advertising.
4.      Terkait dokumen HKI. Di Indonesia waralaba itu boleh dalam bentuk surat permohonan pendaftaran merek. Sedangkan untuk lisensi merek itu harus sertifikat merek.
5.      Terkait regulasi. Di waralaba ada PP dan Permendag yang mana mengatur harus ada pendaftaran STPW  (Surat Tanda Pendaftaran  Waralaba) penerima dan pemberi waralaba. Di lisensi itu ada UU No. 15 mengenai merek dan lisensinya ada di pasal 43 sampai 49 yang isinya dalam hal lisensi harus ada pencatatan perjanjian lisensi.
6.      Masalah sanksi. Di waralaba ada peringatan tertulis tiga kali dan denda paling banyak Rp 100 juta. Sedangkan di lisensi merek tidak terlalu ketat saat ini karena Departemen Hukum dan HAM sedang merumuskan PPnya. [1]

BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN WARALABA (FRANCHISEE) DAN LISENSI
1. Pengertian Waralaba
Waralaba merupakan Suatu bentuk organisasi usaha di mana perusahaan yang sudah memiliki produk sukses atau jasa (pemilik waralaba) memasuki hubungan kontrak terus dengan bisnis lain (franchisee) yang beroperasi di bawah nama dagang franchisor dan biasanya dengan bimbingan franchisor, dengan imbalan biaya.
Waralaba adalah hak yang diberikan kepada seorang individu atau kelompok untuk memasarkan barang suatu perusahaan atau jasa dalam suatu wilayah tertentu atau lokasi. Beberapa contoh waralaba populer saat ini adalah McDonald’s, Subway, Domino’s Pizza, dan UPS Store.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No.12 Tahun 2006. Waralaba (Franchise) merupakan perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.
Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, Pengertian Waralaba ialah Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
Selain itu Waralaba juga dapat didefinisikan sebagai suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan atau individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fees) kepada pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau waralaba.[2]

2. Pengertian Lisensi

Definisi Lisensi menurut Undang-Undang No 30 tahun 2000 tentang rahasia dagang yaitu “ izin yang diberikan oleh pemegang hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 5 Undang undang no 30 tahun 2000).
Definisi Lisensi menurut undang-undang no 31 tahun 2000 tentang disain industry, yakni ‘ izin yang diberikan oleh pemegang Hak desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu desain industry yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang no 21 tahun 2000).
Undang-Undang no 14 tahun 2001,mendefinisikan lisensi sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu (pasal 1 angka 13 Undang-Undang No 14 tahun 2001).[3]
Perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak. Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:
a.       tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;
b.      nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;
c.       obyek perjanjian lisensi;
d.      jangka waktu perjanjian lisensi;
e.       dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang;
f.       pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak ekslusif;
g.       jumlah royalti dan pembayarannya;
h.      dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;
i.        batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan; dan
j.        dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan.[4]

B. HAK DAN KEWAJIBAN WARALABA (FRANCHISEE) DAN LISENSI

1.Hak Dan Kewajiban Waralaba (Franchisee)
Hak dan kewajiban merupakan aspek hukum yang timbul dari adanya hubungan hukum dalam suatu transaksi. Sesuai dengan Pasal 6 UUPK  hak konsumen, dan Pasal 7 UUPK kewajiban konsumen yaitu :
Hak Konsumen
         1.         Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maksudnya bahwa kedua belah pihak dalam menjual dan membeli barang dan/atau jasa tidak merasa dirugikan karena nilai tukar untuk mendapatkan barang tersebut sesuai dengan kondisi yang diterimanya.
         2.         Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, maksudnya bahwa  pelaku usaha dapat menuntut konsumen secara hukum jika konsumen tersebut bermaksud merugikan atau meniru terhadap barang dan/atau jasa yang telah beredar dalam lingkungan masyarakat.
         3.         Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, maksudnya bahwa jika terjadi selisih paham antara konsumen dan pelaku usaha maka dapat diselesaikan dengan ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian yang telah disepakati.
         4.         Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maksudnya bahwa jika terjadi kesalahan atau ketidak cocokan konsumen dalam menggunakan barang dan/atau jasa karena tidak diikuti dengan petunjuk yang telah diberikan dengan kata lain bahwa barang dan/atau jasa tidak bermasalah maka pelaku usaha berhak mendapatkan pemulihan nama baik terhadap barang atau jasa.
         5.         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, maksudnya bahwa pelaku usaha dalam mengeluarkan produk harus sesuai dengan ketentuan ketentuan yang ditetapkan oleh instansi terkait atau yang berwenang dalam menetapkan aturan terhadap barang dan/atau jasa yang akan diterima dalam lingkungan masyarakat.

Kewajiban Konsumen
         1.         Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, maksudnya bahwa pelaku usaha dalam mengeluarkan produk barang dan/atau jasa tidak bertujuan mengeruk keuntungan tinggi tanpa mempertimbangkan nilai jual yang sesungguhnya.
         2.         Memberi informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, maksudnya bahwa pelaku usaha dalam memberikan penjelasan terhadap produk barang dan/atau jasa sebaiknya mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat awam sekalipun.
         3.         Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, maksudnya bahwa pelaku usaha tidak ada perbedaan dalam memberikan informasi atau layanan kepada konsumen atau tanpa ada perlakuan khusus terhadap pelanggan baru ataupun pelanggan lama dalam menyampaikan informasi terhadap barang yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.
         4.         Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standard mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, maksudnya bahwa pelaku usaha dalam membuat produk barang dan/atau jasa harus sesuai dengan standard mutu yang ditetapkan oleh lembaga konsumen yang disesuaikan terhadap produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan.
         5.         Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan, maksudnya bahwa pelaku usaha memberi kesempatan kepada konsumen untuk mencoba setiap produk yang akan dijadikan hak milik tanpa harus membeli secara langsung sebelum melihat kualitas dari produk barang/jasa.
         6.         Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maksudnya bahwa pelaku usaha berhak memberikan ganti rugi kepada konsumen jika barang dan/atau jasa yang digunakan akibat kesalahan atau kegagalan produk tersebut.
         7.         Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian, maksudnya bahwa pelaku usaha berhak untuk memberikan nilai lebih terutama dalam memberikan ganti rugi kepada konsumen jika barang yang dibelinya tidak sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya menjadi penting di era perdagangan bebas saat ini apalagi terkait dengan perubahan pola komunikasi yang memungkinkan para pihak untuk melakukan transaksi tanpa saling tatap muka. Namun, perlu dicermati juga bahwa hukum perlindungan konsumen harus menciptakan keadilan bagi konsumen maupun produsen/pelaku usaha, dan tidak hanya membebani produsen/pelaku usaha dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha dengan jujur.[5]

2. Hak dan Kewajiban Lisensi

Kewajiban pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang yang di produksi dan di perdagangkan Batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila di perjanjikan Penting untuk diperhatikan agar perjanjian lisensi dapat berjalan dengan baik adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban licensor dan licensee secara rinci.
Hak dan kewajiban pemberi lisensi adalah :
a.       Menerima pembayar royalty sesuai dengan perjanjian
b.      Menuntut pembatalan lisensi merek
c.       Menjamin penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga
d.      Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau jasa hasil produksi penerima lisensi
e.       Meminta persetujuan kepada penerima lisensi
f.       Pembatalan perjanjian lisensi merek

Sedangkan hak dan kewajiban penerima lisensi adalah :
a.       Menggunakan merek yang dilisensikan sesuai jangka waktu
b.      Menuntut pembayaran kembali royalty yang telah dibayarkan penerima lisensi kepada pemilik merek
c.       Memberi lisensi lebih lanjut kepda pihak ketiga
d.      Menuntut pembatalan lisensi merek
e.       Membayar royalty sesuai perjanjian
f.       Meminta pencatatan perjanjian lisensi kepada Kantor Merek
g.       Menjaga mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan standar mutu barang atau jasa atas merek yang dilisensikan.
h.      Pembatalan Pendaftaran Merek
Pembatalan pendaftaran hak merek hanya dapat di ajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh pihak merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual atau gugatan kepada pengadilan Niaga, dengan dasar alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 UU Merek yang mengatur mengenai merek yang tidak dapat di daftarakan dan merek yang tidak dapat di daftarkan dan merek yang ditolak pendaftarannya.

C. PERBEDAAN DAN PERSMAAN WARALABA (FRANCHISEE) DAN LISENSI

Secara umum, Bisnis Waralaba, (franchisee) dan Lisensi memiliki kesamaan arti sebagai sebuah konsep kemitraan dalam bisnis. Artinya, ada dua pihak, yaitu pemberi hak dan penerimanya yang sama-sama meraih benefit dari kerja sama kemitraan saling percaya tersebut. Kedua model konsep bisnis ini juga memiliki kesamaan dari sisi tingkat resiko bagi peminat investasi, yaitu meminimalisir faktor kegagalan yang sebelumnya sudah diambil alih oleh pemberi hak melalui pembuktian bisnis atau merek dalam rentang waktu tertentu di tahap awal.
Pada Kedua model bisnis tersebut juga memiliki kesamaan dari sisi support, dimana pemberi hak memiliki keharusan untuk men-support penerima hak agar bisa menjalankan bisnis hingga sukses.
Namun demikian, ada perbedaan antara Waralaba (franchisee) dan Lisensi yang sangat prinsipil dari masing-masing konsep. Tapi, sekarang ini agak sulit untuk kita tahu mana yang waralaba dan  mana yang lisensi. Menurut Utomo Njoto, pakar Franchising, ada 6 (enam) hal untuk bisa membedakan keduanya  :
7.      Dari aspek merek; waralaba itu menggunakan merek milik franchisor dan lisensi menggunakan merek milik lisensor.
8.      fokusnya. Waralaba fokusnya pada sistem bisnis. Lisensi lebih fokus pada hak kekayaan intelektual (HKI). Di waralaba harus ada sistem support, ada pra operasional, pra launching, ada supervise launching dan ada pasca launching.
9.      Marketing communication. Nah di waralaba ada unsur yang terpusat. Full advertising fund dan national level sepending yang berasal dari franchisor. Tapi kalau Lisensi tidak harus terpusat. Malah sebetulnya mereka tidak berhak mengambil full advertising.
10.  Terkait dokumen HKI. Di Indonesia waralaba itu boleh dalam bentuk surat permohonan pendaftaran merek. Seharusnya dan sebetulnya sudah menjadi sertifikat, tapi karena di Indonesia prosesnya panjang maka boleh dalam bentuk surat permohonan pendaftaran merek. Sedangkan untuk lisensi merek itu harus sertifikat merek.
11.  Terkait regulasi. Di waralaba ada PP dan Permendag yang mana mengatur harus ada pendaftaran STPW  (Surat Tanda Pendaftaran  Waralaba) penerima dan pemberi waralaba. Di lisensi itu ada UU No. 15 mengenai merek dan lisensinya ada di pasal 43 sampai 49 yang isinya dalam hal lisensi harus ada pencatatan perjanjian lisensi.
12.  Masalah sanksi. Di waralaba ada peringatan tertulis tiga kali dan denda paling banyak Rp 100 juta. Sedangkan di lisensi merek tidak terlalu ketat saat ini karena Departemen Hukum dan HAM sedang merumuskan PPnya. [6]

D.KETENTUAN UMUM TENTANG ATURAN PERJANJIAN FRANCHISE DAN PERJANJIAN LISENSI

1. Aturan Hukum Tentang Waralaba (Franchisee)
a. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pengaturan tentang franchise di Indonesia ini terdapat pada Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan : ”Bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun berdasarkan undang-undang. Perjanjian merupakan kesepakatn kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengikatkan diri mereka masing-masing untuk melaksanakan isi perjanjian ada persetujuan yang dibuat kedua belah pihak”.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan rumusan dari perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Definisi dari perjanjian yang terdapat di atas adalah tidak lengkap, dan juga terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak. Dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai perbuatan dalam lapangan hukum keluarga.
Perjanjian lahir dari adanya perikatan, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak. Hubungan dua orang atau dua pihak adalah suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang berarti bahwa kedua belah pihak dijamin oleh hukum atau undang-undang.
Perjanjian menurut R. Setiawan adalah : ”Suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Buku III KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menentukan isi perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak, biasanya diawali dengan unsur kepercayaan (fiducia). Akan tetapi unsur kepercayaan ini bukan kunci utama dalam membuat suatu perikatan, tetapi para pihak harus memperhatikan syarat-syarat syahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah :
  1.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 
  2.     Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
  3.     Suatu hal tertentu
  4.     Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua diatas dinamakan syarat subjektif, apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal karena hukum.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.

b.Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) perjanjian waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Dalam Pasal 3 ayat (1) sebelum membuat perjanjian, pemberi waralab wajib memberi menyampaikan keterangan kepada penerima waralaba secara tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai :
a.       Pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya;
b.      Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek waralaba;
c.       Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba;
d.      Bantuann atau fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;
e.      Hak dan kewajiban pemebri dan penerima waralaba;
f.        Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian waralaba serta hal-hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.
Perjanjian waralaba beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh penerima waralaba paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berlakunya waralaba.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) perjanjian waralaba yang telah berlaku sebelum ditetapkannya peraturan pemerintah ini, didaftarkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia ketentuan dan tata cara pendaftaran usaha waralaba dalam Pasal 1 ayat (6) perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba dan dalam Pasal 1 ayat (7) perjanjian waralaba lanjutan adalah perjanjian secara tertulis antara penerima waralaba utama dengan penerima waralaba lanjutan.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dapat disertai atau tidak disertai dengan pemberian hak untuk membuat perjanjian waralaba lanjutan.   [7]

2. Aturan Hukum Tentang Pengikatan Lisensi
Pasal 45-47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Llisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM.

Pengikatan suatu perjanjian lisensi hak cipta dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lisan, melalui akta di bawah tangan yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dan dapat juga dibuat oleh notaris dalam bentuk akta otentik. Ketentuan royalti dalam perjanjian lisensi merupakan kewajiban dari penerima lisensi dan menjadi hak dari pemberi lisensi yang besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Apabila ditinjau ketentuan hukum perjanjian salah satu cara adalah mengikuti ketentuan hukum perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian (Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). [8]

















BAB III
PENUTUP
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya perjanian franchise berada diantara perjanjian lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan merk ataupun prosedur tertentu merupakan unsure perjanjian lisensi. Sedangkan dilain pihak juga adanya Quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang lisensi yang haru sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.
Sebagaimana dalam perjanjian lisesnsi, pada perjanjian franchise, pemegang franchise wajib membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Royalty kadang-kadang bukan ditetapkan berdasarkan persentase keuntungan tapi beberapa unit. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise untung atau tidak. Disamping harus membayar royalty, pihak pemegang franchise juga sering harus memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh franchisor untuk mendesain perusahaan sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitupula dengan menajemennya, tidak jarang franchisor juga memberikan assistensi dalam manajemen.
Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah :
  5.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 
  6.     Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
  7.     Suatu hal tertentu
  8.     Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua diatas dinamakan syarat subjektif, apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal karena hukum.


[3] http://id.shvoong.com/business-management/2135315-definisi-lisensi-menurut-undang-undang/
[4] http://lailamaharani.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-persyaratan-perjanjian.html
[5] Martin Mendelsohn, Franchising Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo, 1993, hlm. 70.

[8] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26359/5/Abstract.pdf
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Waralaba (Franchisee) dan Lisensi Rating: 5 Reviewed By: Admin