BANDA ACEH - Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Prof Dr Nasaruddin
Umar MA meresmikan perubahan status Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ar-Raniry menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, di
Auditorium kampus tersebut, Rabu (17/9).
Peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti dan piagam alih status UIN Ar-Raniry disaksikan Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar, Ketua DPRA Hasbi Abdullah, Rektor UIN Ar-Raniry
Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA, dan tokoh-tokoh pendidikan. Juga hadir
Kakanwil Kemenag Aceh, Ketua MPU Aceh, Kepala Baitul Mal Aceh, Ketua
Majelis Adat Aceh, para Kepala SKPA, serta rektor UIN, STAIN, dan IAIN
se-Indonesia.
Dalam sambutannya, Wamenag RI mengatakan, dengan perubahan status tersebut diharapkan UIN Ar-Raniry
bisa lebih maju. “Kita melihat IAIN maupun STAIN identik dengan Islam.
Satu sisi kita tahu Islam itu mencakup keseluruhan, maka untuk
memunculkan nilai-nilai universalnya Islam harus diwadahi oleh
universitas Islam. Sebab universal Islam tidak mungkin diwadahi oleh
institut maupun STAIN,” kata Wamenag mewakili Menteri Agama RI.
Nasaruddin menambahkan, kehadiran UIN dapat menghidupkan kembali
tradisi intelektual yang tidak terpisahkan dengan nilai-nilai agama.
Selain itu dapat mengembalikan kegemilangan ilmu pengetahuan Islam yang
pernah terjadi pada masa kegemilangan Islam.
Wamenag berharap, lahirnya UIN Ar-Raniry
diharapkan dapat menambah bobot keilmuan bangsa Indonesia terutama umat
Islam, serta memperkuatnya dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat
peradaban di masa depan.
Gebernur Aceh, dr Zaini Abdullah dalam sambutannya mengatakan,
perubahan status IAIN Ar-Raniry menjadi UIN merupakan langkah yang
tepat. Alumni yang dihasilkan adalah para sarjana dengan keilmuan yang
berperspektif Islam.
“Kalau berbicara pendidikan yang memperkuat penegakan syariat Islam di Aceh maka UIN Ar-Raniry
akan menjadi tiang penopangnya. Kampus ini kelak diharapkan mampu
menghasikan para cendekiawan berwawasan Islam yang kuat, tawadhuk dan
berakhlakul karimah,” harap Zaini.
Rektor UIN Ar-Raniry, Farid Wajdi Ibrahim MA menyebutkan UIN Ar-Raniry
merupakan UIN ke-7 di Indonesia. Menurut Farid, IAIN Ar-Raniry resmi
berubah status menjadi UIN setelah keluar Peraturan Presiden (Perpres)
RI Nomor 64 Tahun 2013 tanggal 1 Oktober 2013.
“Perubahan status itu menjadi kado istimewa bagi IAIN Ar-Raniry yang
memperingati hari ulang tahun emas ke-50 pada 5 Oktober 2013. Kini
perubahan status tersebut sudah diresmikan menjadi UIN Ar-Raniry,” ujarnya.
Farid menambahkan, UIN Ar-Raniry
akan mencontoh UIN-UIN lainnya yang menghasilkan lulusan hafizh dan
hafizhah serta ahli di bidang ilmunya. “Ada 1.200 mahasiswa yang
diasramakan untuk dididik menjadi hafizh dan menguasai bahasa asing,”
tutupnya.
Pantauan Serambi, prosesi peresmian UIN Ar-Raniry
berlangsung dalam suasana khidmat dan meriah karena tidak saja
dibungkus dengan pendekatan regulatif tetapi juga berbasis kultural.
Perpaduan suasana itu dibenarkan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan
Kerjasama UIN Ar-Raniry,
Dr H Syamsul Rijal MAg. “Benar, pihak panitia mengemas even ini dengan
pendekatan regulatif-cultural. Ini even besar dan bersejarah, maka
kemasannya pun harus beda,” ujar Syamsul Rijal di sela-sela kegiatan
akbar tersebut.
Menurut Rijal, regulatif itu subtansial dan sangat pokok, karena itu
launching alih status berisikan amanat Menteri Agama sebagai pemilik
otoritas kewenangan, dilanjutkan dengan penandatangan piagam pendirian UIN Ar-Raniry, serta seremoni penekanan tombol sebagai pembuka selubung peresmian penggunaan sarana-prasarana kampus UIN Ar-Raniry.
Sedangkan pendekatan kultural, lanjut Rijal, disuguhkan kultur
keacehan. Di sini diperlukan membangun partisipatori semua pihak dengan
menyertakan (mengundang) tokoh masyarakat di segenap penjuru mata angin
di kawasan kampus untuk menyaksikan prosesi penting ini agar tumbuh rasa
memiliki kampus UIN. Demikian juga segenap mitra kerja serta
stake-holder turut menyaksikan, bahkan dihadirkan juga pimpinan
perguruan tinggi UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia.
Dalam proses launching disuguhkan juga aneka tari persembahan mahasiswa UIN Ar-Raniry.
Ini menjadi bukti bahwa mahasiswa UIN bukan saja ‘penimba’ ilmu tapi
juga tampil kreatif sebagai promotor budaya Aceh di tengah realitas
kehidupan sosio-religi.
Masih terkait dengan pendekatan kultural, kata Rijal, juga digelar
kenduri sebagai wujud rasa syukur rakyat Aceh atas keberhasilan kerja
besar alih status IAIN ke UIN. “Ada kemeriahan berbalut rasa syukur
ketika makan kenduri bersama dengan menu kuwah beulangong, menu khas
yang begitu merakyat di kalangan masyarakat Aceh,” demikian Syamsul
Rijal.
sumber: aceh.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar