PENDAHULUAN
Islam tidak hanya berbicara mengenai masalah
aqidah atau ibadah tetapi juga sangat mementingkan hal-hal lain yang membawa
kemaslahatan bagi manusia itu sendiri disamping aqidah dan ibadah. Dalam
bermuamalah Islam memberikan batasan-batasan tertentu agar satu sama lain tidak
saling dirugikan seperti dalam jual beli, gadai, hutang-piutang, kerjasama
dagang, bagi hasil dan sebagainya, agar tidak berbenturan dengan konsep
syari’ah yang diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh rasul-Nya. Oleh
karena itu para ulama membahas secara rinci permasalahan-permasalahan tersebut
agar dijadikan tolak ukur tentang bagaimana cara beribadah dan bermuamalah yang
sesuai dengan keinginan Allah SWT.
Dalam makalah ini juga sejalan dengan apa yang
telah diutarakan oleh para ulama mengenai Ba’i Istishna’ baik dari segi rukun
dan syarat serta aplikasi dalam perkembangan dunia modern.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ba’i Istisna’
Ba’i Istisna’ adalah memesan
kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk
pembeli atau pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang
merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan dalam syariat[1].
Ketentuan umum pembiayaan istishna’ adalah spesifikasi barang dan pesanan harus
jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlahnya. Harga jual yang telah
disepakati dicantumkan dalam akad istishna’
dan tidak boleh berubah selama berlakunya
akad. Jika terjadi perubahan dari criteria pesanan dan terjadi perubahan harga
setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah[2].
Kontrak
istishna’ menciptakan kewajiban moral bagi perusahaan untuk memproduksi barang
pesanan pembeli. Sebelum perusahaan
memulai produksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan sebelumnya kepada pihak
yang lain. Namun demikian, apabila perusahaan sudah mulai memproduksinya,
kontrak istishna tidak dapat diputuskan secara sepihak[3].
Dan apabila objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasinya, maka
pemesan dapat menggunakan hak pilihan ( khiyar
) untuk melanjutkan atau membatalkan[4].
Ba’I Istishna dibolehkan sesuai dengan keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia NO : 06/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.
B. Landasan Hukum Ba’i Istishna’
1. Hadist Nabi
riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf :
Yang artinya :
“ perdamaian dapat dilakukan di
antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram;dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. “[5]
3. Kaidah Fiqh
:
Yang artinya :
“ Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya “[6]
C. Rukun Dan Syarat Ba’i Istishna’
Dalam jual beli istishna’, terdapat rukun
yang harus dipenuhi, (mustashni’) yakni pihak yang membutuhkan
dan memesan barang. Dan shani’
(penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan, barang/objek (mashnu’)
dan sighat (ijab qabul). Disamping itu, ulama juga menentukan beberapa syarat
untuk
menentukan sahnya jual beli istishna’. Syarat yang diajukan ulama untuk
diperbolehkannya transaksi jual beli istishna’ adalah:
- Adanya kejelasan jenis, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus di ketahui spesifikasinya.
- Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan antarmanusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan manusia, seperti barang property, barang industry dan lainnya.
- Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu peyerahan barang ditetapakan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam, menurut pandangan Abu Hanifah.[7]
Ketentuan Objek
(barang) dalam istishna’ :
·
Harus
jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
·
Harus
dapat dijelaskan spesifikasinya.
·
Penyerahannya
dilakukan kemudian.
·
Waktu dan
tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
·
Pembeli
tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya[8]
Sebagai bentuk
jual beli forward, istishna’ mirip dengan salam. Namun ada beberapa perbedaan
di antara keduanya, antara lain :
ü Objek istishna’ selalu barang yang harus
diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk barang apa saja,baik haru
diproduksi lebih dahulu maupun tidak
diproduksi terlebih dahulu.
ü Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di
muka, sedangkan harga dalam akad istishna tidak harus di bayar penuh di muka,
melainkan dapat dicicil atau dibayar di
belakang.
ü Akad salam efektif tidak dapat diputuskan
secara sepihak, sementara dalam istishna akad dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.
ü Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian
terpenting dari akad salam , namun dalam akad istishna tidak merupakan
keharusan.[9]
D. Aplikasi Istishna’ Saat Ini
Pada praktiknya, akad istishna yang digunakan pada KPR adalah istishna
paralel. Maksudnya, konsumen yang membutuhkan rumah datang ke bank dan memesan
sebuah rumah dengan spesifikasi tertentu. Konsumen dan bank lalu membuat
kesepakatan serah-terima rumah, harga jual, dan mekanisme pembayarannya. Oleh
karena bank bukan merupakan perusahaan pengembang, maka bank memesan lagi ke
pangembang agar dibuatkan rumah yang sama yang dipesan oleh konsumen. Inilah
yang dimaksud dengan istishna paralel, yaitu konsumen memesan rumah pada bank,
dan bank memesan lagi ke pangembang untuk dibuatkan rumah. Dengan akad tersebut
jual-beli dapat dilaksanakan walaupun objeknya belum ada.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ba’i Istisna’ adalah memesan
kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk
pembeli atau pemesan. Rukun Istishsna’ mencakup;
mustashni’, shani’, mashnu’dan
sighat (ijab qabul). Sedangkan syaratnya mencakup;
- Adanya kejelasan jenis, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus di ketahui spesifikasinya.
- Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan antarmanusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan manusia, seperti barang property, barang industry dan lainnya.
- Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu peyerahan barang ditetapakan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam, menurut pandangan Abu Hanifah.[10]
[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008 ). Hal: 96
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan (
PT RajaGrafindo Persada. 2010 ). Hal: 100
[3] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008 ). Hal: 97
[4] Pusat Pengkajian hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (
Jakarta : Kencana. 2009 ).hal : 43
[6] Ibid, hal 37
[7] Zuhaili,1989,jilid IV, hal. 633
[8] Ibid, hal 38
[9] Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008 ). Hal: 98
[10] Zuhaili,1989,jilid IV, hal. 633
0 komentar:
Posting Komentar