Uijeongbu -- Namanya Kim Kyeong-sun. Saat Perang Korea
berkecamuk tahun 1950, Kim bertemu seorang perekrut pekerjaan yang
menjanjikan rumah layak huni dan upah besar untuk menghidupi keluarga.
Kim tergiur. Ia tinggalkan rumah dan kampung kumuhnya, untuk pekerjaan yang tak diinginkan seumur hidupnya; menjadi pekerja seks bagi tentara Amerika.
Ia habiskan tahun-tahun sepanjang Perang Korea, antara 1950-1953 -- serta tahun-tahun setelahnya -- sebagai pelayan seks serdadu AS yang datang dan pergi. Alih-alih mendapat banyak uang untuk menghidupi keluarga, Kim tercekik utang dan obat bius.
Kim berusaha melarikan diri dengan menikahi salah satu tentara AS yang menjadi pelanggannya. Kim berhasil. Ia menikah dengan salah satu tentara AS, dan punya anak. Tapi setelah Perang Korea usai, Kim dan anaknya ditinggal begitu saja.
Sekian puluh tahun setelah Perang Korea usai, Kim masih bertahan di keejichon -- istilah Korea untuk menyebut pangkalan militer kota -- yang telah ditutup. Ia tidak sendiri. Bersama 121 perempuan senasib dengannya Kim menjalani hidup yang sulit.
Orang-orang sekitar mengejeknya dengan sebutan Yankee whores, atau Pelacur AS, atau wanita PBB. Isilah terakhir merujuk pada fakta bahwa tentara AS hadir di Korsel di bawah bendera PBB.
Kini, Kim dan 121 mantan budak seks lainnya menggugat pemeringah Korsel meminta maaf dan membayar kompensasi sebesar 1,2 juta dolar AS. Menurut Kim, tentara AS hanya 'pengguna' para wanita budak seks. Pemerintah Korsel bertindak sebagai penyedia.
Setiap mantan budak seks menuntut kompensasi 10 ribu dolar AS. Jumlah yang kecil, karena bukang uang yang mereka tuntut tapi permintaa maaf, dan investigasi terhadap praktek perekrutan perempuan budak seks.
Lebih dari itu, mereka menuntut pengakuan dan tanggung jawab pemerintah Korsel terhadap seluruh wanita yang dipaksa melayani tentara AS.
Kim tidak sekadar mengggugat untuk dirinya dan 121 rekannya, tapi juga praktek pelacuran pada tahun-tahun setelah Perang Korea usai. Dalam berkasa gugatan disebutkan tahun 1957 pemerintah Korea mendorong wanita miskin dan tak berpendidikan ke zona-zona prostitusi yang ditunjuk pemeirntah. Seluruh lokalisasi itu tidak jauh dari pangkalan militer AS.
Pihak berwenang secara reguler menangkapi para pelacur dan dipaksa menjalani teks. Mereka yang mengidap penyakit kelamin dikeluarkan dari tempat pelacuran. Semua ini dilakukan untuk menjamin tentara AS yang menggunakan pelacur Korea terbebas dari penyakit.
"Kami percaya pemerintah Korsel bertanggung jawab atas semua ini," ujar Kim. "Saya tidak tahu bagaimana nasib wanita yang saat itu dinyatakan mengidap penyakit kelamin."
Tahun 1960, Korsel melarang pelacuran dan perdagangan wanita. Namun, tida diktator yang memimpin Korsel harus melayani 28 ribu tentara AS yang masih bercokol sampai 1980-an.
Ketiganya berusaha menyenangkan AS, agar Paman Sam tak lari membawa dolar yang mereka butuhkan untuk membangun negeri.
Situasi sedikit berubah ketika Washington mengurangi jumlah pasukannya di Korsel pada tahun 1970-an. Terakhir, setelah demo anti-pasukan AS -- akibat isiden kendaraan lapis baja AS menabrak dua gadis Korsel -- Washington menarik seluruh pasukannnya tahun 2002.
Sejak saat itu kehidupan malam yang melayani tentara AS berhenti. Namun persoalan tidak berakhir sampai di situ. Mereka yang dipaksa melacur kini terecekik kemiskinan, terabaikan, dan diejek seumur hidup untuk pekerjaan hina yang tak mereka kehendaki.
Kim layak menuntut maaf dan kompensasi atas semua ini. Lebih dari itu, ia ingin membuka mata rakyat Korea bahwa negara mereka sendiri -- bukan negara lain -- yang menjadikan mereka budak seks.
Kim tergiur. Ia tinggalkan rumah dan kampung kumuhnya, untuk pekerjaan yang tak diinginkan seumur hidupnya; menjadi pekerja seks bagi tentara Amerika.
Ia habiskan tahun-tahun sepanjang Perang Korea, antara 1950-1953 -- serta tahun-tahun setelahnya -- sebagai pelayan seks serdadu AS yang datang dan pergi. Alih-alih mendapat banyak uang untuk menghidupi keluarga, Kim tercekik utang dan obat bius.
Kim berusaha melarikan diri dengan menikahi salah satu tentara AS yang menjadi pelanggannya. Kim berhasil. Ia menikah dengan salah satu tentara AS, dan punya anak. Tapi setelah Perang Korea usai, Kim dan anaknya ditinggal begitu saja.
Sekian puluh tahun setelah Perang Korea usai, Kim masih bertahan di keejichon -- istilah Korea untuk menyebut pangkalan militer kota -- yang telah ditutup. Ia tidak sendiri. Bersama 121 perempuan senasib dengannya Kim menjalani hidup yang sulit.
Orang-orang sekitar mengejeknya dengan sebutan Yankee whores, atau Pelacur AS, atau wanita PBB. Isilah terakhir merujuk pada fakta bahwa tentara AS hadir di Korsel di bawah bendera PBB.
Kini, Kim dan 121 mantan budak seks lainnya menggugat pemeringah Korsel meminta maaf dan membayar kompensasi sebesar 1,2 juta dolar AS. Menurut Kim, tentara AS hanya 'pengguna' para wanita budak seks. Pemerintah Korsel bertindak sebagai penyedia.
Setiap mantan budak seks menuntut kompensasi 10 ribu dolar AS. Jumlah yang kecil, karena bukang uang yang mereka tuntut tapi permintaa maaf, dan investigasi terhadap praktek perekrutan perempuan budak seks.
Lebih dari itu, mereka menuntut pengakuan dan tanggung jawab pemerintah Korsel terhadap seluruh wanita yang dipaksa melayani tentara AS.
Kim tidak sekadar mengggugat untuk dirinya dan 121 rekannya, tapi juga praktek pelacuran pada tahun-tahun setelah Perang Korea usai. Dalam berkasa gugatan disebutkan tahun 1957 pemerintah Korea mendorong wanita miskin dan tak berpendidikan ke zona-zona prostitusi yang ditunjuk pemeirntah. Seluruh lokalisasi itu tidak jauh dari pangkalan militer AS.
Pihak berwenang secara reguler menangkapi para pelacur dan dipaksa menjalani teks. Mereka yang mengidap penyakit kelamin dikeluarkan dari tempat pelacuran. Semua ini dilakukan untuk menjamin tentara AS yang menggunakan pelacur Korea terbebas dari penyakit.
"Kami percaya pemerintah Korsel bertanggung jawab atas semua ini," ujar Kim. "Saya tidak tahu bagaimana nasib wanita yang saat itu dinyatakan mengidap penyakit kelamin."
Tahun 1960, Korsel melarang pelacuran dan perdagangan wanita. Namun, tida diktator yang memimpin Korsel harus melayani 28 ribu tentara AS yang masih bercokol sampai 1980-an.
Ketiganya berusaha menyenangkan AS, agar Paman Sam tak lari membawa dolar yang mereka butuhkan untuk membangun negeri.
Situasi sedikit berubah ketika Washington mengurangi jumlah pasukannya di Korsel pada tahun 1970-an. Terakhir, setelah demo anti-pasukan AS -- akibat isiden kendaraan lapis baja AS menabrak dua gadis Korsel -- Washington menarik seluruh pasukannnya tahun 2002.
Sejak saat itu kehidupan malam yang melayani tentara AS berhenti. Namun persoalan tidak berakhir sampai di situ. Mereka yang dipaksa melacur kini terecekik kemiskinan, terabaikan, dan diejek seumur hidup untuk pekerjaan hina yang tak mereka kehendaki.
Kim layak menuntut maaf dan kompensasi atas semua ini. Lebih dari itu, ia ingin membuka mata rakyat Korea bahwa negara mereka sendiri -- bukan negara lain -- yang menjadikan mereka budak seks.
sumber: inilah.com
0 komentar:
Posting Komentar